Oleh
Ewel Galih 5 September 2012 pukul 20:32
( Teruntuk sepi yang mengancam)
Lelaki itu selalu mengintai malam dari tirai jendela kamar, matanya
memaku tajam ke angkasa. Seperti jiwa yang terpenjara di negri malam tak
berteman, meski sunyi sekalipun.
“Lenyap” ucapnya lirih
dengan bibir gemetar. Seraya menatap kosong langit, tak tampak hamparan
bintang bergelantung menemani bulan yang menyabit redup. Seolah
tenggelam, tertelan awan mendung yang samar dalam gelap. Sementara angin
berloncatan menerpa ujung rambut lelaki itu, menggoyangkan tiap helai
panjang daun pisang samping rumahnya. Angin itu adalah angin yang sama
dengan yang mempermainkan tangisannya beberapa belas tahun silam.
Hatinya makin berkecamuk ketika melihat ribuan tetes air berebut turun
dari balik awan. Menguak kenangan lelaki itu, lelaki yang termangu di
tepi jendela.
Seolah ada sebuah kedukaan mengambang di
ingatan. Tapi entahlah, orang-orang kampung hanya sering mendapati
siluet sesosok lelaki seperti menguras airmata dari balik tirai jendela
rumah yang terletak di pojok sunyi itu. Sesekali dia mengerang kencang,
entah teriak kesakitan, atau apalah yang jelas gema suara itu mampu
merambat gemercik hujan. Namun sampai detik ini tak ada yang tahu persis
luka apa yang menderanya.
*
Terus, lelaki itu
berjalan kecil menyisiri malam, menapaki tiap ruang rumahnya yang sunyi.
Seketika langkah terhenti di teras depan, pada gumpalan bias hujan
menyelimuti kaca-kaca hitam. Lelaki itu lalu mendekat, dan lebih dekat
lagi. Dengan kaos oblong murahan menempel di tubuh, salah satu bidang
kaca tersebut di bersihkan. Kaca itu sudah lama retak, retak dalam amuk
kekecewaan.
“Lelaki jahanam, biadab ! Sekarang pergi
lah yang jauh. Meski tanpamu aku mampu menghidupi Roy, aku tidak butuh
kepala keluarga bajingan sepertimu” Teriak seorang ibu di ikuti gelas
dengan motif bunga yang terlempar ke arah suaminya. Namun bidikan
tersebut meleset hanya mengenai kaca depan rumah mereka.
Roy yang
terbangun dari tidur diam-diam menyaksikan perseteruan ibu dan bapaknya
dari balik lubang kunci. Meski itu sudah terjadi sekitar tiga belas
tahun silam, namun suasana malam terus menyeret dan kata-kata itu masih
menempel erat di ingatan. Sampai mimik wajah ibunya dia ingat persis,
seperti orang kesetanan. Dan bapak hanya diam, tanpa ada sepatah kata,
kecuali pergerakan tangannya yang terlihat mencoba mempertahankan diri.
Namun semua sia-sia, semakin ibu menatap wajah bapak emosinya semakin
memuncak.
Semua bermula ketika perut bu Lilis
tetangga Roy mulai buncit yang menebar kejanggalan hebat. Sebab orang
sekampung tahu suami ibu Lilis sedang merantau di tempat yang jauh dan
hampir dua tahun belakangan ini tak pernah pulang. Janggalnya kenapa bu
Lilis bisa hamil, belaian siapa yang meninggalkan benih di rahimnya.
Berita kehamilan ini menjadi buah bibir paling populer di kampung kami,
di warung-warung kopi, di sela pekerjaan, di pelatar-pelataran kicauan
ibu-ibu berterbangan mengumbar cerita dengan bermacam persi.
Beberapa
pekan gosip tersebut menjadi topik utama, di semua kalangan. Sampai
terkuak lelaki yang berhasil membuahi rahim bu Lilis, tetangga Roy yang
malang. Mengkhianati suaminya hanya untuk memuaskan nafsu selangkangan.
Tapi ibu Roy jauh lebih malang, dari raut wajahnya terlihat begitu
banyak menyimpan beban. Sakit hati, terlecehkan, termalukan, kecewa,
penuh dengan perasaan-perasaan tidak nyaman. Ketika bu Lilis angkat
bicara kalau lelaki yang menghamilinya adalah lelaki yang menikah dengan
tetangganya sendiri, lelaki yang biasa Roy panggil “Bapak”.
Berita itupun menjadi sumber malu keluarga, terutama ibu Roy dia sangat
terpukul dengan kejadian tersebut. Bersama nyeri di dada yang seakan
tak ada habisnya, akhirnya sang ibu memilih membesarkan Roy seorang diri
**
Guntur-guntur bersahutan, membangunkan lelaki yang larut dalam lamunan
hingga menenggelamkan guratan senyum pada permukaan malam. Lelaki itu
menggerutu tak jelas,
Kilat menyambar, membelah gumpalan pekat awan-awan hitam
Silau kilaunya membunuh senyum dalam mata.
Kesedihan yang tak dapat dieja sepanjang hujan reda,
meski dengan bahasa selembut sutra
kini mereka pergi tanpa kenangan sedikitpun.
Kurang lebih seperti demikian kata-kata yang sempat tertangkap angin.
Hanya
memandang liar ke semua sudut sepi yang mengepung malam, malam tak
ubahnya pita masalalu yang berputar lamban. Menyudutkan diri yang selalu
merasa lemah setiap kali mencoba mengecup kilauan bintang. Mencoba
mencintai malam agar tak selalu menjadi kengerian. Namun kepekatan
begitu kuat menyelimuti rindu-rindu, melelapkan pada nyanyian masalalu.
Sontak jemari-jemarinya secara spontan menjatuhkan belaian pada
keretakan kaca berpoles debu-debu berkarat dan lelaki itu berubah
menjadi beringas.
Jemarinya menggumpal lalu menghantam
keras. Hanya dengan satu pukulan keras kaca tersebut sudah tak lagi
retak, tetapi berubah menjadi beling-beling tajam yang berserakan di
lantai keramik tua rumahnya. Berteriak-teriak tak jelas sambil menjambak
rambutnya sendiri. Detak jantungnya pun seperti beradu cepat dengan
hujan yang berjatuhan. Secara perlahan dia kembali tenang, namun ada
benda yang menyita perhatiannya. Keningnya mengerut, salah satu pecahan
kaca diambil lalu dibersihkan dengan rintik air dari langit. Hingga
mengkilap dengan bentuknya tidak beraturan, namun runcingnya sudah dapat
dipastikan mampu mengiris kulit bahkan menikam suara nafas kalian.
Kalian yang cukup lantang menertawakan kesialan ini !!
Kalian
yang menganggap jalan takdir ini adalah sebuah goresan tak ubahnya
kutukan yang bersemayam dalam dada. Apalagi bila diingat manakala lelaki
itu mulai mengecap sebuah cinta, layaknya rasa yang tumbuh pada remaja
kebanyakan. Maria gadis kampung berparas seadanya, yang sukses memupuk
semangat dalam harinya. Namun bahagia memang selalu silih berganti,
tikaman kecewa mulai menyerang luka lama yang bersarang. Di saat
perempuan itu, menyingkap apa yang selama ini tersembunyi. Sebab ibunya
sama sekali tidak menaruh restu terhadap hubungan mereka.
“ Buah
tidak akan jatuh dari pohonnya,” kata Maria menyampaikan sebuah kalimat
yang menjadi alasan utama ibunya menantang hubungan mereka. Di sore yang
nanar itu Roy pun hanya terdiam, bibirnya gemetar seperti ada yang
tertahan di ujung lidah. Maria dengan sisa ketegaran mengucapkan kata
perpisahan, beranjak meninggalkan kekasihnya dalam kesakitan.
“Seandainya aku bisa memilih, akupun tidak akan memilih terlahir dari
keluarga yang tidah utuh. Aku terima keputusanmu, tapi sampaikan pada
ibumu aku hanyalah korban. Seharusnya bukan hanya ibumu, kamu, dia, dan
mereka tahu ini hidupku. Aku yang paling mengerti dan paham dengan jalan
ini.” Teriaknya, menahan langkah Maria yang sudah memalingkan tubuhnya
sedari tadi.
“Kalian tidaklah berfikir, aku tahu
bagaimana tidak enaknya jauh dari orangtua. Ini adalah sebuah pengalaman
yang Tuhan ajarkan. Dan yang penting rasanya terlalu bodoh bila aku
membiarkan kesakitan, cerita pahit ini terus berlanjut, persetan
pribahasa itu ” Sambungnya lagi dengan suara memarau, Maria hanya
memalingkan sedikit muka ke belakang sambil menyeka airmata, dan lenyap
begitu saja di kemuraman senja.
Kisah cinta yang mengalir
tersekat-sekat di ingatan, makin memicu kilau serpihan kaca tersebut
untuk menyayat pergelangan. Memejamkan mata, menghayati gesekan kaca
yang dalam hitungan detik sudah memutus arus pada darah. Pada luka yang
menganga dia melangkah, hanya beberapa langkah mendekati foto dengan
warna mulai memudar. Mematung, membuat waktu kembali mengulang ingatan.
Meski ingatan adalah luka yang sangat menyakitkan, tetapi dia tak mampu
menghindar. Sungguh, bila jubah kegelapan telah menyelimuti bumi dengan
ribuan tetes hujan, kadang dia menjadi tegang. Seperti mencoba menahan
desakan air yang ditahan mati-matian dari balik kelopak mata, agar tidak
jatuh membulir membasah pipi.
“Aku lemah,
pengecut, aku kalah, dan aku menyerah pada kesedihanku.” Suaranya datar
kemudian dikejutkan dengan tangis histeris sembari menghempas foto dari
balik pigura di depannya. Separu berjongkok foto tadi diambil lagi,
dipegang erat dengan noda darah yang terus mengalir.
***
Entah
beberapa puluh ribu malam tercurah dalam tangisan, namun ini adalah
kali pertama airmata itu di ikuti kucuran darah segar dari goresan kaca
di pergelangan. Dulu pada malam-malam sebelumnya, bilamana kedukaan itu
menyerang. Lelaki itu dengan sigap membunuhnya dengan sebotol Jager,
hingga membuatnya terlelap sedalam-dalamnya, dalam mimpi yang sudah tak
cantik lagi. Tapi kali ini sebotol Jager tidaklah mampu menepis ribuan
runcing serangan kedukaan, malah makin membuat kegelisahan membumbung
tinggi. Dengan rasa kecewa penuh, hingga tidak ada tempat lagi untuk
menampung amarah, yang meletup-letup atas perkembangan pertumbuhan tanpa
kehadiran keluarga yang utuh. Luka dari sayatan emosional inilah yang
menenggelamkan lelaki tersebut ke dalam konflik sinting. Stress menahun,
mengembangkan masalah-masalah prilaku. Hingga dia pun sukses menjadi
lelaki aneh, kata yang sering dilontarkan orang-orang di kampung.
Sayup-sayup
suara pentungan terdengar berbunyi dua kali, dari tiang listrik yang
dipukul para penjaga malam. Tapi lelaki itu masih setia memandang hampa
ke tepi jendela menatapi daun-daun pisang yang bergoyang hingga terhenti
dengan posisi tengadah ke langit. Meresapi aroma yang ditinggalkan
hujan, dengan gemercik masih terdengar samar-samar.
Nafasnya
memburu, terlihat pada kedalaman matanya. Seolah sedang memutar ulang
usaha untuk menyalahkan dirinya sendiri. Sebuah memori masa kecilnya
yang pincang, berjalan tergopoh-gopoh di bawah terik kehidupan. Binar
mata itupun seakan melukis harapan.
Ingatan lelaki
itu, ingatan itu datang lagi. Dia menari, meloncat-loncat bila hembusnya
menyapa, barangkali jiwa itu di bawa terbang melayang dalam bahagia.
Namun untuk kesekian kali dia harus merasakan jatuh, bangun, kemudian
jatuh lagi begitu seterusnya. Sampai jiwanya sudah tak berbentuk, lalu
diapun melanjutkan berjalan ke pelosok-pelosok sunyi mencari celah untuk
melupa. Sepertinya selalu salah jalan, bukan kah sunyi makin
menghanyutkan. Dia kembali memutar balik arah mencari kegaduhan,
menginjak tempat-tempat keramaian. Dari pasar malam, warung-warung
remang, diskotik, cafe-cafe dangdut, sampai dia memberanikan diri
mengenal perempuan malam. Namun tempat seperti itu hanya melahirkan
perasaan risih, membuat dirinya makin membenci kehidupan.
Imajinasi
itu hanya berputar-putar membuat pusing dengan keadaan yang terus
menghantui. Mungkin kamu, aku, kalian, mereka-mereka dan dia sendiri pun
sempat heran kenapa keadaan begitu demikian rumit. Tapi inilah adanya
antara aku dan lelaki itu telah melebur menjadi satu.
Dengan
lekat-lekat foto yang sedari tadi digenggam erat, dipandangnya. begitu
sayu tatapan itu dalam pengharapan, tanpa perduli cucuran darah terus
berloncatan.
“Tengoklah aku, lihat keadaanku buah dari
pertikaian kalian. Aku yang begini buruk, tumbuh liar tanpa siraman
kasih sayang” Seraya menghela nafas, mencoba memberi ketenangan pada
letup luka yang menggebu.
“Aku rindu dekapan ibu, aku
rindu nasehat bapak yang selalu terselip dalam dongeng penghantar
tidurku.” Sambungnya lagi, dengan menekuk muka. Suaranya terdengar
menjadi sangatlah sendu, matanya yang sembab mulai meredup.
Hujan
kini sudah reda total, semilir angin masuk melalui pentilasi udara di
penghujung malam menyelipkan bayangan detik-detik kepergian sang ibu.
Ketika seorang duda datang melamar ibunya, dengan memantapkan hati ibu
Roy pun pergi bersama duda muda yang menikahinya. Mendamparkan dia
seorang diri yang sebenarnya masih sangat haus-hausnya akan kasih sayang
seorang ibu. Di rumah di pojok sunyi ini, Roy mengais mimpi.
Berpuluh,
beribu, beratus-ratus tumpahan botol Jager bersama tumpukan waktu yang
mengalir, rasanya tak cukup mampu menghibur sepi. Sepi yang terlampau
kenyang terasakan dalam hidup yang laknat ini. Waktu sama sekali tak
mampu tertahan, percikan darah terlihat di mana-mana. Sepi sekejap
terlupa dengan rasa lelah merajai sekujur tubuh, bersama rasa dingin
yang sangat dalam . Tubuh itu terbaring lunglai di lantai penuh decak
kental cairan darah, tak satu kata sanggup terkeluarkan. Padahal dia
sangat ingin ucapkan selamat tinggal, sebagai tanda perpisahan. Sebab
kereta kematian sudah menunggu di teras langit. Dia menghitung-hitung
kepada siapa ucapan itu pantas diberikan, rasanya dia sudah tidak punya
siapa-siapa untuk berbagi ucapan selamat tinggal. Satu-satunya yang
pantas mendapatkan ucapan perpisahan adalah kesepiannya sendiri, meski
dirinya akan tetap membuahkan kesepian yang sama.
Dengan ceracau tak jelas dalam benak, dia memutuskan menikmati sisa
waktu ini dengan membakar sebatang tembakau. Rasanya cukup menghibur hal
bodoh yang sudah dilakukan. Semua sudah terlanjur, dan dia menyempatkan
pula berandai-andai bila esok pagi sudah tiba, semua yang mengenalnya
bisa berkaca. Tak seharusnya kesedihan diakhiri dengan kematian, tak
seharusnya pula menyalahkan keadaan yang tak tahu apa-apa. Bukankah
pemicu rasa sedih dari dalam diri kita sendiri, semestinya dia juga
mampu melepas jerat dan belenggu dari penjara masalalu. “Ternyata aku
terlalu menikmati luka yang di tinggalkan ibu dan bapakku. Setelah
bertahun-tahun kenapa baru sekarang aku menyadarinya.” Sebuah fikiran
jernih melintas begitu saja dalam keruh benaknya.
“Tapi percuma, sekarang aku sudah putus asa !!” benaknya kembali berkecamuk
Embun-embun
mulai berjatuhan mempersiapkan kedatangan pagi, seketika kembali rasa
dingin tadi menyerang. Semakin sejuk terasa pada bagian pusar, kemudian
mulai turun ke pinggang dan kembali naik ke bagian jakun. Bersamaan itu
detak jantung lelaki itu terhenti, dan hembus nafasnya berakhir.
Lelaki
itu tergeletak di bawah jendela, kini matanya sudah tertutup rapat pada
malam berbalut campuran darah, derita, putus asa, airmata dan kematian.
"Ketahuilah, lelaki itu adalah Roy, tubuhku yang kini terbaring kaku”
****
Banjarbaru/ juli/2012