Kamis, 13 Februari 2014

For U A

Diposting oleh eva yuanita di 00.43 0 komentar
Ya Allah Aku Jatuh Cinta
Pada dia yang mampu membuat hati ini bergetar saat memandangnya
Pada dia yang mampu membuat aku terdiam tak mampu mengucap kata
Pada dia yang selalu ada di pikiran ku
Pada dia yang selalu mengisi setiap anganku

Aku mencintainya bersama rindu yang tak bertepi
Saat siang berganti menjadi malam
Dan malam berganti pagi kembali

Pernahkah dia bayangkan
Disetiap rentang waktu
Harapku akan dirinya
ku titipkan bersama asa ini

Aku merindunya,,
Canda tawa nya
Kesombongannya
Keangkuhannya
Segala Tentang dirinya

Aku mencintainya
Karena takdir yang menuntun ku untuk mencintainya....



With Love A


Rabu, 12 Februari 2014

Mengintip dari tirai kamar

Diposting oleh eva yuanita di 22.38 0 komentar
 Oleh Ewel Galih 2 Januari 2012 pukul 0:41


Mengintip dari tirai kamar
ternyata hujan masih saja mengepungku
Dalam setiap pergantian detik adalah was-was
Dalam deras tetes gerimis adalah cemas
ketika angin berloncatan merambat ranting-ranting
ketika itu ketakutan terikat di sela-sela selimut


Dalam Tengadah tadzim
Cambukan halilintar membelah warna Langit
Diselingi para kodok yang berceloteh sengau
Suara yang terdengar begitu akrab dengan hujan
Berbincang di tengah malam
Tentang ancaman genangan air keruh berbaur lumpur
di pekarangan
Pada bukit-bukit gundul  yang kini makin sejajar dengan pantat balita.

Bersama Gerhana

Diposting oleh eva yuanita di 21.28 0 komentar
Oleh Ewel Galih 12 Februari 2012 pukul 2:19


Bersama gerhana dan  bintang kiblat aku datang malam ini di pundakmu
 untuk menagih janji yang mengalun bersama hati mu

Kan ku robek perisai mu, dengan kesempurnaan setia ku  
Kan Ku titahkan pada Kaki dan tanganku


Untuk Menjemput mu,
Sebagai satu_satu jiwa yang ku rindu 
Satu_satu nya untukku .



Kan ku tuntaskan bahagia mu, 
Dan kan ku lelapkan diri mu bersama irama cinta ku yang sunyi. 
Menyambut pagi dalam dekapan terdalam Ku..

untuk mu kesabaran itu aku cipta....

Diposting oleh eva yuanita di 21.26 0 komentar
Oleh Ewel Galih 22 Februari 2012 pukul 13:10


Pertemuan kita di beranda malam, menghambur kilauan bintang
yang sama sekali tak pernah terjadi pada musim yang berganti
pada imaji tak tentu mati, pada janji pertukaran nomor hape
Seraut wajahmu memaku di dinding akun facebookku


Aku, menghambur aroma wewangian pada kasur penuh decak hitam putih angan-angan
masih slalu terjaga dalam kedatangan malam
Buram dalam gambaran, hanya asa tak ingin tersulut arang.


tapi jadwal kantuk malah berantakan
sesaat perempuan ku menerobos alam mimpi dan fikiran
udara masuk dalam nafas panjang menjelma khayalan
dan,
dua  tiga batang hisapan rokok berikan jeda kesenyapan
dalam pekat tersiapkan sekantong cemas penuh kegilaan
kan ku dekap, ku pegang erat kau, perempuan khayalan !!!
hingga ku baringkan dalam kenyataan

KRAWANG-BEKASI

Diposting oleh eva yuanita di 21.09 0 komentar
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957

Secangkir Kopi

Diposting oleh eva yuanita di 19.41 0 komentar
Oleh Ewel Galih 8 Juni 2012 pukul 2:16


Secangkir kopi di teras, dekat televisi 21 inci
Makin mengumbar aroma kesendirian yang sudah tidak suci
Ya secangkir kopi, yang kini ku seduh dalam bait puisi

Secangkir kopi itu manis tertuang dalam wadah ingatan
Secangkir kopiku, di dalam hitam begitu kental indah kenangan
Dan kini hangatnya pun hilang terseret waktu yang kian jahanam

Secangkir kopiku, belum tuntas kau menghilang
Belum jelas, kau ajarkan kemunafikkan
Hingga yang tersisa hanya kepahitan dalam regukan akhir kisah kita.



“KENANGAN YANG MEMBUNUH ”

Diposting oleh eva yuanita di 19.18 1 komentar
Oleh Ewel Galih 5 September 2012 pukul 20:32


                                             ( Teruntuk sepi yang mengancam)
                                              


        Lelaki itu selalu mengintai malam dari tirai jendela kamar, matanya memaku tajam ke angkasa. Seperti jiwa yang terpenjara di negri malam tak berteman, meski sunyi sekalipun.

“Lenyap” ucapnya lirih dengan bibir gemetar. Seraya menatap kosong langit, tak tampak hamparan bintang bergelantung menemani bulan yang menyabit redup. Seolah tenggelam, tertelan awan mendung yang samar dalam gelap. Sementara angin berloncatan menerpa ujung rambut lelaki itu, menggoyangkan tiap helai panjang daun pisang samping rumahnya. Angin itu adalah angin yang sama dengan yang mempermainkan tangisannya beberapa belas tahun silam. Hatinya makin berkecamuk ketika melihat ribuan tetes air berebut turun dari balik awan. Menguak kenangan lelaki itu,  lelaki yang termangu di tepi jendela.

Seolah ada sebuah kedukaan mengambang di ingatan. Tapi entahlah, orang-orang kampung hanya sering mendapati siluet sesosok lelaki seperti menguras airmata dari balik tirai jendela rumah yang terletak di pojok sunyi itu. Sesekali dia mengerang kencang, entah teriak kesakitan, atau apalah yang jelas gema suara itu mampu merambat gemercik hujan. Namun sampai detik ini tak ada yang tahu persis luka apa yang menderanya.
*
            Terus, lelaki itu berjalan kecil menyisiri malam, menapaki tiap ruang rumahnya yang sunyi. Seketika langkah terhenti di teras depan, pada gumpalan bias hujan menyelimuti kaca-kaca hitam. Lelaki itu lalu mendekat, dan lebih dekat lagi. Dengan kaos oblong murahan menempel di tubuh, salah satu bidang kaca tersebut di bersihkan. Kaca itu sudah lama retak, retak dalam amuk kekecewaan.
            “Lelaki jahanam, biadab ! Sekarang pergi lah yang jauh. Meski tanpamu aku mampu menghidupi Roy, aku tidak butuh kepala keluarga bajingan sepertimu” Teriak seorang ibu di ikuti gelas dengan motif  bunga yang terlempar ke arah suaminya. Namun bidikan tersebut meleset hanya mengenai kaca depan rumah mereka.
Roy yang terbangun dari tidur diam-diam menyaksikan perseteruan ibu dan bapaknya dari balik lubang kunci. Meski itu sudah terjadi sekitar tiga belas tahun silam, namun suasana malam terus menyeret dan kata-kata itu  masih menempel erat di ingatan. Sampai mimik wajah ibunya dia ingat persis, seperti orang kesetanan. Dan bapak hanya diam, tanpa ada sepatah kata, kecuali pergerakan tangannya  yang terlihat mencoba mempertahankan diri. Namun semua sia-sia, semakin ibu menatap wajah bapak emosinya semakin memuncak.

       Semua bermula ketika perut bu Lilis tetangga Roy mulai buncit yang menebar kejanggalan hebat. Sebab orang sekampung tahu suami ibu Lilis sedang merantau di tempat yang jauh dan hampir dua tahun belakangan ini tak pernah pulang. Janggalnya kenapa bu Lilis bisa hamil, belaian siapa yang meninggalkan benih di rahimnya. Berita kehamilan ini menjadi buah bibir paling populer di kampung kami, di warung-warung kopi, di sela pekerjaan, di pelatar-pelataran kicauan ibu-ibu berterbangan mengumbar cerita dengan bermacam persi.
Beberapa pekan gosip tersebut menjadi topik utama, di semua kalangan. Sampai terkuak lelaki yang berhasil membuahi rahim bu Lilis, tetangga Roy yang malang. Mengkhianati suaminya hanya untuk memuaskan nafsu selangkangan. Tapi ibu Roy jauh lebih malang, dari raut wajahnya terlihat begitu banyak menyimpan beban. Sakit hati, terlecehkan, termalukan, kecewa, penuh dengan perasaan-perasaan tidak nyaman. Ketika bu Lilis angkat bicara kalau lelaki yang menghamilinya adalah lelaki yang menikah dengan tetangganya sendiri, lelaki yang biasa Roy panggil “Bapak”.
          Berita itupun menjadi sumber malu keluarga, terutama ibu Roy dia sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Bersama nyeri di dada yang seakan tak ada habisnya, akhirnya sang ibu memilih membesarkan Roy seorang diri
**
            Guntur-guntur bersahutan, membangunkan lelaki yang larut dalam lamunan hingga menenggelamkan guratan senyum pada permukaan malam. Lelaki itu menggerutu tak jelas,
           Kilat menyambar, membelah gumpalan pekat awan-awan hitam
          Silau kilaunya membunuh senyum dalam mata.
          Kesedihan yang tak dapat dieja sepanjang hujan reda,
         meski dengan bahasa selembut sutra
         kini mereka pergi tanpa kenangan sedikitpun.

Kurang lebih seperti demikian kata-kata yang sempat tertangkap angin.
Hanya memandang liar ke semua sudut sepi yang mengepung malam, malam tak ubahnya pita masalalu yang berputar lamban. Menyudutkan diri yang selalu merasa lemah setiap kali mencoba mengecup kilauan bintang. Mencoba mencintai malam agar tak selalu menjadi kengerian. Namun kepekatan begitu kuat menyelimuti rindu-rindu, melelapkan pada nyanyian masalalu. Sontak jemari-jemarinya secara spontan menjatuhkan belaian pada keretakan kaca berpoles debu-debu berkarat dan lelaki itu berubah menjadi beringas.

Jemarinya menggumpal lalu menghantam keras. Hanya dengan satu pukulan keras kaca tersebut sudah tak lagi retak, tetapi berubah menjadi beling-beling tajam yang berserakan di lantai keramik tua rumahnya. Berteriak-teriak tak jelas sambil menjambak rambutnya sendiri. Detak jantungnya pun seperti beradu cepat dengan hujan yang berjatuhan. Secara perlahan dia kembali tenang, namun ada benda yang menyita perhatiannya. Keningnya mengerut, salah satu pecahan kaca diambil lalu dibersihkan dengan rintik air dari langit. Hingga mengkilap dengan bentuknya tidak beraturan, namun runcingnya sudah dapat dipastikan mampu mengiris kulit bahkan menikam suara nafas kalian. Kalian yang cukup lantang menertawakan kesialan ini !!

Kalian yang menganggap jalan takdir ini adalah sebuah goresan tak ubahnya kutukan yang bersemayam dalam dada. Apalagi bila diingat manakala lelaki itu mulai mengecap sebuah cinta, layaknya rasa yang tumbuh pada remaja kebanyakan. Maria gadis kampung berparas seadanya, yang sukses memupuk semangat dalam harinya. Namun bahagia memang selalu silih berganti, tikaman kecewa mulai menyerang luka lama yang bersarang. Di saat perempuan itu, menyingkap apa yang selama ini tersembunyi. Sebab ibunya sama sekali tidak menaruh restu terhadap hubungan mereka.
“ Buah tidak akan jatuh dari pohonnya,” kata Maria menyampaikan sebuah kalimat yang menjadi alasan utama ibunya menantang hubungan mereka. Di sore yang nanar itu Roy pun hanya terdiam, bibirnya gemetar seperti ada yang tertahan di ujung lidah. Maria dengan sisa ketegaran mengucapkan kata perpisahan, beranjak meninggalkan kekasihnya dalam kesakitan.
            “Seandainya aku bisa memilih, akupun tidak akan memilih terlahir dari keluarga yang tidah utuh. Aku terima keputusanmu, tapi sampaikan pada ibumu aku hanyalah korban. Seharusnya bukan hanya ibumu, kamu, dia, dan mereka tahu ini hidupku. Aku yang paling mengerti dan paham dengan jalan ini.” Teriaknya, menahan langkah Maria yang sudah memalingkan tubuhnya sedari tadi.
             “Kalian tidaklah berfikir, aku tahu bagaimana tidak enaknya jauh dari orangtua. Ini adalah sebuah pengalaman yang Tuhan ajarkan. Dan yang penting rasanya terlalu bodoh bila aku membiarkan kesakitan, cerita pahit ini terus berlanjut, persetan pribahasa itu ” Sambungnya lagi dengan suara memarau, Maria hanya memalingkan sedikit muka ke belakang sambil menyeka airmata, dan lenyap begitu saja di kemuraman senja.

Kisah cinta yang mengalir tersekat-sekat di ingatan, makin memicu kilau serpihan kaca tersebut untuk menyayat pergelangan. Memejamkan mata, menghayati gesekan kaca yang dalam hitungan detik sudah memutus arus pada darah. Pada luka yang menganga dia melangkah, hanya beberapa langkah mendekati foto dengan warna mulai memudar. Mematung, membuat waktu kembali mengulang ingatan. Meski ingatan adalah luka yang sangat menyakitkan, tetapi dia tak mampu menghindar. Sungguh, bila jubah kegelapan telah menyelimuti bumi dengan ribuan tetes hujan, kadang dia menjadi tegang. Seperti mencoba menahan desakan air yang ditahan mati-matian dari balik kelopak mata, agar tidak jatuh membulir membasah pipi.
               “Aku lemah, pengecut, aku kalah, dan aku menyerah pada kesedihanku.” Suaranya datar kemudian dikejutkan dengan tangis histeris sembari menghempas foto dari balik pigura di depannya. Separu berjongkok foto tadi diambil lagi, dipegang erat dengan noda darah yang terus mengalir.
***
Entah beberapa puluh ribu malam tercurah dalam tangisan, namun ini adalah kali pertama airmata itu di ikuti kucuran darah segar dari goresan kaca di pergelangan. Dulu pada malam-malam sebelumnya, bilamana kedukaan itu menyerang. Lelaki itu dengan sigap membunuhnya dengan sebotol Jager, hingga membuatnya terlelap sedalam-dalamnya, dalam mimpi yang sudah tak cantik lagi. Tapi kali ini sebotol Jager tidaklah mampu menepis ribuan runcing serangan kedukaan, malah makin membuat kegelisahan membumbung tinggi. Dengan rasa kecewa penuh, hingga  tidak ada tempat lagi untuk menampung amarah, yang meletup-letup atas perkembangan pertumbuhan tanpa kehadiran keluarga yang utuh. Luka dari sayatan emosional inilah yang menenggelamkan lelaki tersebut ke dalam konflik sinting. Stress menahun, mengembangkan masalah-masalah prilaku. Hingga dia pun sukses menjadi lelaki aneh, kata yang sering dilontarkan orang-orang di kampung.
Sayup-sayup suara pentungan terdengar berbunyi dua kali, dari tiang listrik yang dipukul para penjaga malam. Tapi lelaki itu masih setia memandang hampa ke tepi jendela menatapi daun-daun pisang yang bergoyang hingga terhenti dengan posisi tengadah ke langit. Meresapi aroma yang ditinggalkan hujan, dengan gemercik masih terdengar samar-samar.
Nafasnya memburu, terlihat pada kedalaman matanya. Seolah sedang memutar ulang usaha untuk menyalahkan dirinya sendiri. Sebuah memori masa kecilnya yang pincang, berjalan tergopoh-gopoh di bawah terik kehidupan. Binar mata itupun seakan melukis harapan.

       Ingatan lelaki itu, ingatan itu datang lagi. Dia menari, meloncat-loncat bila hembusnya menyapa, barangkali jiwa itu di bawa terbang melayang dalam bahagia. Namun untuk kesekian kali dia harus merasakan jatuh, bangun, kemudian jatuh lagi begitu seterusnya. Sampai jiwanya sudah tak berbentuk, lalu diapun melanjutkan berjalan ke pelosok-pelosok sunyi mencari celah untuk melupa. Sepertinya selalu salah jalan, bukan kah sunyi makin menghanyutkan. Dia kembali memutar balik arah mencari kegaduhan, menginjak tempat-tempat keramaian. Dari pasar malam, warung-warung remang, diskotik, cafe-cafe dangdut, sampai dia memberanikan diri mengenal perempuan malam. Namun tempat seperti itu hanya melahirkan perasaan risih, membuat dirinya makin membenci kehidupan.

Imajinasi itu hanya berputar-putar membuat pusing dengan keadaan yang terus menghantui. Mungkin kamu, aku, kalian, mereka-mereka dan dia sendiri pun sempat heran kenapa keadaan begitu demikian rumit. Tapi inilah adanya antara aku dan lelaki itu telah melebur menjadi satu.
Dengan lekat-lekat foto yang sedari tadi digenggam erat, dipandangnya. begitu sayu tatapan itu dalam pengharapan, tanpa perduli cucuran darah terus berloncatan.
            “Tengoklah aku, lihat keadaanku buah dari pertikaian kalian. Aku yang begini buruk, tumbuh liar tanpa siraman kasih sayang” Seraya menghela nafas, mencoba memberi ketenangan pada letup luka yang menggebu.
             “Aku rindu dekapan ibu, aku rindu nasehat bapak yang selalu terselip dalam dongeng penghantar tidurku.” Sambungnya lagi, dengan menekuk muka. Suaranya terdengar menjadi sangatlah sendu, matanya yang sembab mulai meredup.

Hujan kini sudah reda total, semilir angin masuk melalui pentilasi udara di penghujung malam menyelipkan bayangan detik-detik kepergian sang ibu. Ketika seorang duda datang melamar ibunya, dengan memantapkan hati ibu Roy pun pergi bersama duda muda yang menikahinya. Mendamparkan dia seorang diri yang sebenarnya masih sangat haus-hausnya akan kasih sayang seorang ibu. Di rumah di pojok sunyi ini, Roy mengais mimpi.

Berpuluh, beribu, beratus-ratus tumpahan botol Jager bersama tumpukan waktu yang mengalir, rasanya tak cukup mampu menghibur sepi. Sepi yang terlampau kenyang terasakan dalam hidup yang laknat ini. Waktu sama sekali tak mampu tertahan, percikan darah terlihat di mana-mana. Sepi sekejap terlupa dengan rasa lelah merajai sekujur tubuh, bersama rasa dingin yang sangat dalam . Tubuh itu terbaring lunglai di lantai penuh decak kental cairan darah, tak satu kata sanggup terkeluarkan. Padahal dia sangat ingin ucapkan selamat tinggal, sebagai tanda perpisahan. Sebab kereta kematian sudah menunggu di teras langit. Dia menghitung-hitung kepada siapa ucapan itu pantas diberikan, rasanya dia sudah tidak punya siapa-siapa untuk berbagi ucapan selamat tinggal. Satu-satunya yang pantas mendapatkan ucapan perpisahan adalah kesepiannya sendiri, meski dirinya akan tetap membuahkan kesepian yang sama.

       Dengan ceracau tak jelas dalam benak, dia memutuskan menikmati sisa waktu ini dengan membakar sebatang tembakau. Rasanya cukup menghibur hal bodoh yang sudah dilakukan. Semua sudah terlanjur, dan dia menyempatkan pula berandai-andai bila esok pagi sudah tiba, semua yang mengenalnya bisa berkaca. Tak seharusnya kesedihan diakhiri dengan kematian, tak seharusnya pula menyalahkan keadaan yang tak tahu apa-apa. Bukankah pemicu rasa sedih dari dalam diri kita sendiri, semestinya dia juga mampu melepas jerat dan belenggu dari penjara masalalu. “Ternyata aku terlalu menikmati luka yang di tinggalkan ibu dan bapakku. Setelah bertahun-tahun kenapa baru sekarang aku menyadarinya.” Sebuah fikiran jernih melintas begitu saja dalam keruh benaknya.
       “Tapi percuma, sekarang aku sudah putus asa !!” benaknya kembali berkecamuk
Embun-embun mulai berjatuhan mempersiapkan kedatangan pagi, seketika kembali rasa dingin tadi menyerang. Semakin sejuk terasa pada bagian pusar, kemudian mulai turun ke pinggang dan kembali naik ke bagian jakun. Bersamaan itu detak jantung lelaki itu terhenti, dan hembus nafasnya berakhir.
Lelaki itu tergeletak di bawah jendela, kini matanya sudah tertutup rapat pada malam berbalut campuran darah, derita, putus asa, airmata dan kematian.
        "Ketahuilah, lelaki itu adalah Roy, tubuhku yang kini terbaring kaku”

                                             ****







                                                                                                      Banjarbaru/ juli/2012

“Gerimis Tipis Di Batas Senja”

Diposting oleh eva yuanita di 19.05 0 komentar
Oleh Ewel Galih 26 Februari 2013 pukul 21:20


Ucap pamit kedua sosok itu terdengar sesayup, namun aku hanya hirau. Kini, di bolamataku hanya ada bayangan lemah ibu. Aku segera berlari menghampirinya.
Kupanggil dia dengan perlahan, namun tiada sahutan. Kuguncang tubuhnya masih tiada kata, kesabaranku meluap hingga tanpa sadar aku mengguncang keras tubuh Ibu. Dan Ibu masih membeku kaku, kusentuh pipinya yang mengeriput.
Entah mengapa sudut matanya tampak sembab. Kuraba pergelangannya yang kurus, dan aku tersentak, tiada denyut nadi di sana. Aku tergugu.

Tanpa sadar aku mengguncang tubuhnya kembali. Dan saat kuinsafi, tiada aroma dan hembus napasnya kini. Maka... Aku berteriak keras memecah permukaan malam.

Seketika itu pula desir angin merambat tekuk leherku serta tirai jendela yang berayun-ayun dengan tiba-tiba.
“Kaukah itu ?”
***
Langit kembali jingga, aku masih setia duduk di balkon kamar yang menghadap ke selatan. Senja yang mungkin saja menghadirkan dirimu, aku selalu di sini. Terakhir aku membaca surat darimu, kau akan pulang dengan membawa kehidupan yang layak. Katamu mungkin di suatu petang. Surat terakhir yang kau kirim, aku baca di samping tempat tidurmu. Istrimu yang berbaring di situ, nampak tersenyum cerah mendengar kata demi kata yang kubaca.
Entah di senja ke berapa kau akan datang. Tiap mentari mulai kembali ke peraduannya, istrimu selalu mengingatkanku untuk duduk di balkon.
Aku menunggu sosokmu berjalan pulang ke arah pintu rumah kita. Dengan memikul puntalan di pundak kanan, dan menenteng tas yang sama ketika kau pergi. Kau akan berteriak-teriak dari kejauhan memanggil namaku, “Galih.... Galih ..“ Aku mengkhusukkan pendengaran sambil memicingkan mata, melawan sorot sayu mentari senja. Dan aku akan segera berlari menuju kamarmu, membangunkan ibu dan membopong tubuh lumpuhnya keluar.
Bara api dari sebatang rokok yang terselip di sela jari, membuatku kaget dan tersadar. Nampak hanya lambaian ilalang yang seirama dengan helai rambutku, tak terlihat sosokmu. Riuh angin di angkasa menerbangkanku dalam permainannya, menenggelamkan sebuah penantian yang larut dalam khayal, sekejap pupus kemudian kembali utuh. Diikuti kerinduan yang terus saja menggelitik detik waktu. Belum lagi desah suara wanita tua lumpuh di sebelah kamarku, yang tak henti mengeja namamu dalam igaunya. Meski tidak begitu jelas ucapan itu, tapi aku yakin pasti dia menyebut namamu. Mungkin dia begitu menghayati sebuah kerinduan yang indah.
Aku kembali menyeruput kopi, menyulut kembali rokok. Mataku memaku ke pohon durian yang menjulang tinggi di belakang padang ilalang. Di bawah jingga yang mulai bercampur bercak merah, pada gumpalan awan yang menaungi hamparan alam.
Aku masih bisa melacak ingatan dengan baik tentang pohon itu. Dulu kau sering mengajakku ke sana jika musim durian tiba. Kita membuat gubuk kecil dari kayu beratap rumbia. Kadang kita menginap, bila pohon durian itu berbuah lebat dan mulai berjatuhan. Kau akan mencari kayu bakar untuk bekal mengusir nyamuk hutan yang lapar. Sedang aku, kau bekali ketapel untuk mengusir tupai-tupai yang sering mengganggu buah durian kita. Sampai malam menjelang dengan penerangan obor serta cahaya rembulan yang tertutup rimbun pepohonan, kau akan bercerita pengalamanmu. Bagaimana kau menggembala kerbau semasa kecilmu, berjualan botol-botol bekas, serta bagaimana kau berhasil meminang wanita yang sudah menyusuiku. Sesekali ceritamu terpotong, bila terdengar sebuah bunyi keras menghantam semak-semak. Satu persatu durian yang jatuh kita punguti, dan menyimpan di teras depan gubuk.
Kau menyalakan sebatang rokok dengan hisapan yang cukup panjang. Telunjukmu, kau acungkan bergeser ke sekeliling pepohonan. Kau akan kembali mengatakan tentang asal-usul pohon durian itu. Yang katamu kakekku lah yang menanamnya, kau hanya melanjutkan untuk merawat.
“Usia pohon itu lebih tua beberapa bulan dari usiaku,” katamu dengan disusul tawa yang menurutku bukanlah sebuah lelucon lucu.
Cerita itu aku dengar lebih dari enam kali, tapi aku akan tetap menunjukkan raut muka yang super serius. Memaksa bibirku untuk tersenyum rapi dan mengangguk pelan seolah menaruh kagum seperti pertama kali aku mendengarnya.
***
Sampai suara ayat-ayat Tuhan terdengar dari menara-menara mesjid. Serta kurang dari seperempat lingkaran mentari mengintip di peraduannya. Aku akan segera kembali ke kamar, dan mengarang sedikit cerita kepada ibu agar dia tidak putus asa dalam penantian. Padahal aku sendiripun sudah cukup putus asa. Kadang aku juga merasa bersalah telah mendustai ibuku sendiri.
Sungguh jikalau begini, akulah orang pertama yang menahan langkahmu. Atau paling tidak aku ikut merantau bersamamu, tetapi tidak mungkin. Siapa nanti yang menjaga ibuku? Wanita yang sangat kau sanjung meski dia sudah tidak secantik dulu lagi. Kita memang miskin, kau bekerja dengan mengandalkan tenaga yang tidak pasti penghasilannya. Mendulang, ya mendulang itulah mayoritas pekerjaan di kampung kita. Di perkampungan yang berada di Kalimantan inilah aku banyak memulai cerita.
Namun beberapa bulan belakangan pekerjaan itu terasa sangat membosankan menurutmu. Kadang tiga hari sekali kau baru membawa pulang uang, itupun tidak seberapa. Hanya cukup untuk makan dan melunasi hutang-hutang.
Sampai suatu ketika orang-orang di kampung kita ramai membicarakan lokasi tambang yang lagi menjadi primadona. Letaknya sangat jauh, di daerah Sulewesi Tenggara. Banyak orang banua khususnya dari kampung kita (Cempaka) membawa cerita kalau di sana sangat mudah menjaring rupiah. Kau tergoda mendengarnya, dan memutuskan untuk melabuh mimpi di tanah perantauan.
Bombana nama daerah itu, aku pernah mendengarnya dari temanku yang juga mau merantau ke sana.
Kini mereka sudah banyak yang pulang ke kampung halaman, tapi kau sendiri?
Aku tidak tahu kau di mana, aku sering bertanya perihal kabarmu kepada teman, kerabat yang juga datang dari sana setelah kau tidak lagi mengirim surat. Mereka mengatakan tidak pernah melihatmu lagi. Terakhir dua tahun yang lalu, pada bulan yang sama ketika surat terakhirmu aku baca.
Di tahun pertama dari hilangnya jejakmu, ibu sakit-sakitan sampai dia terserang stroke. Dan aku hanya bisa merawatnya di rumah, kau tahu aku kini sudah putus sekolah. Aku ikut mengaut pasir ke dalam truk yang biasa lewat dengan menghambur debu di jalan kampung kita.
Hingga di suatu senja dengan gerimis tipis, ibu memanggilku. Tidak seperti biasanya, dia tidak pernah atau begitu enggan mengganggu senjaku di balkon. Aku segera mengahampirinya, aku pikir dia mau buang air atau butuh sesuatu.
Karena stroke yang dideritanya, membuat beberapa bagian tubuhnya mengalami kelumpuhan. Tapi dia masih bisa menuliskan sesuatu dengan tangan kiri, cara untuk berkomunikasi denganku. “ Aku ingin mandi dulu, sebelum bertemu Abahmu.” Aku sedikit kaget membaca kalimat terakhir dari tulisannya.
Aku mengulang membaca, lalu menyodorkan tulisan tersebut di depan matanya. Dan mulutnya yang kaku seperti isyaratkan sebuah senyum. Akupun membalas dengan senyum tapi mataku seperti teriris, nanar. Aku menggendongnya ke belakang, memandikan seperti biasa yang aku lakukan.
Aku kembali duduk di balkon, meresapi aroma gerimis dengan secangkir teh manis. Aku menengok ke samping, nampak seorang wanita tua terlihat cantik dengan kebaya di pembaringannya. Seketika terlintas kalimat yang ditulis istrimu tadi, aku merasa nalurinya berbicara. Andai senja ini kau memang akan datang, kenapa aku tidak merasakannya. Apa mungkin naluri seorang anak tidak begitu peka.
Aku terombang-ambing dalam lamunan.
***
Jalan setapak dari belakang rumah kita membentang panjang, padang ilalang sedikit basah. Beberapa burung berlarian di udara dengan meninggalkan kicauan yang bergema, lalu lenyap. Langit mulai meredup, dua sosok lelaki berbadan tegap terlihat di ujung jalan. Aku mulai beranjak dari kursi, sambil memegang gelas teh yang kosong. Aku menaruh kembali gelas teh dan menyalakan rokok. Mengamati lebih dalam, “Siapa mereka?” Fikirku mulai penasaran.
Hembus asap tembakau dari mulutku berserakan, lamban seperti mengimbangi ayun langkah kaki mereka.
Aku mengucek mata, “ Itu Abah !” Teriakku lantang, aku juga tidak tahu suara itu terlontar begitu saja. Pasti Abah aku menyakinkan hati, dan yang satu mungkin temannya. “Bu.. Abah datang” Teriakku kembali, seraya berlari menyambutnya.
Gerimis yang sempat berjeda, kembali memberi irama, tetes demi tetes buliran air mendarat di keningku. Aku keluar ke perkarangan, menyambut sosok yang kuyakini Abah. Semakin mendekat kedua sosok itu, semakin ada degup yang mendesir alunan jantungku. Tak ada bekal di tangan, atau buntalan di pundaknya. Hanya sesekali mereka menunduk secara bersamaan mengamati ke kertas kecil yang di pegang salah satunya, kemudian menatap ke arah rumahku dengan menancapkan telunjuknya.
“Prang, pprrraaank....” Terdengar suara gelas terhempas dari kamar ibu, aku hanya menoleh sejenak.
Langkahku tertahan, aku tertegun dengan kedua sosok yang sudah berada tepat di depanku. Di bawah langit yang makin gelap, tatapanku menjadi lirih. Mengamati kedua sosok yang sama sekali aku tidak mengenalnya. Mereka segera mengulur tangan secara bergantian, aku menjabatnya. Aku diam, mengamati seragam yang mereka kenakan. Celana panjang abu-abu, jaket kulit sewarna dengan sepatu keduanya, hitam mengkilat. Dan tak luput selembar kertas dari genggam salah satunya.
“Apa ini benar rumah Pak Rois ?” Tanyanya mengagetkanku sambil menyodorkan kertas tadi yang ternyata sebuah KTP (Kartu Tanda Penduduk) kusam, tulisannya hampir tidak dapat terbaca.
Aku tercengang, tiba-tiba naluriku mulai bercampur aduk antara bahagia, gugup, dan lain berkecamuk jadi satu. Entah apa, dilain sisi aku tahu kedua orang ini adalah aparat kepolisian.
“Anggota kami menemukan sebuah jasad yang hanya tinggal tulang belulang saja. Kami sempat kesulitan mengenalinya, untung kami menemukan itu.“ Ucapnya membuyarkan lamunanku dengan suara yang berat sembari menunjuk KTP yang kupegang.
Akupun langsung tersentak keras mendengarnya, terpaku dengan yang mereka ucapkan. Aku segera berlari menuju ibuku yang terbaring cantik, tanpa mendengar jelas ucap pamit kedua polisi tadi. Aku memeluk ibu sejadi-jadinya tanpa peduli serpihan kaca yang berserak di lantai rumah kayu kami. Aku mengguncang keras tubuhnya, namun ibuku membeku kaku, dia sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa. Aku menatapnya sambil menyeka butiran airmata, menyentuh pipinya yang mengeriput. Sudut matanya terasa sembab, tetapi detak jantung dan hembus napasnya berhenti. Aku mengguncang kembali, namun aku tetap tidak menemukan aroma dan hembus napas itu. Aku berteriak keras memecah permukaan malam disertai desir angin yang buas.
Kemudian hening ...
***
Ketika sore aku duduk, ternyata ibu benar-benar telah menemukan sebuah nikmatnya rindu, dia menemui Abahku. Abah tidak memanggil dan datang dari ujung jalan yang selalu aku pandangi.
Dan di senja selanjutnya aku akan terus menunggu sampai Abah dan ibu menjemputku.
Gerimis tipis menyetubuhi dinginnya angin di batas senja, aku merindukan itu !!!
***

MK
Banjarbaru, 15 september 2012
 

Cerita Ku Copyright © 2011 Design by Infu5 (^o^) Blogger Template | Rumah's Desa koe