Rabu, 12 Februari 2014

“Gerimis Tipis Di Batas Senja”

Diposting oleh eva yuanita di 19.05
Oleh Ewel Galih 26 Februari 2013 pukul 21:20


Ucap pamit kedua sosok itu terdengar sesayup, namun aku hanya hirau. Kini, di bolamataku hanya ada bayangan lemah ibu. Aku segera berlari menghampirinya.
Kupanggil dia dengan perlahan, namun tiada sahutan. Kuguncang tubuhnya masih tiada kata, kesabaranku meluap hingga tanpa sadar aku mengguncang keras tubuh Ibu. Dan Ibu masih membeku kaku, kusentuh pipinya yang mengeriput.
Entah mengapa sudut matanya tampak sembab. Kuraba pergelangannya yang kurus, dan aku tersentak, tiada denyut nadi di sana. Aku tergugu.

Tanpa sadar aku mengguncang tubuhnya kembali. Dan saat kuinsafi, tiada aroma dan hembus napasnya kini. Maka... Aku berteriak keras memecah permukaan malam.

Seketika itu pula desir angin merambat tekuk leherku serta tirai jendela yang berayun-ayun dengan tiba-tiba.
“Kaukah itu ?”
***
Langit kembali jingga, aku masih setia duduk di balkon kamar yang menghadap ke selatan. Senja yang mungkin saja menghadirkan dirimu, aku selalu di sini. Terakhir aku membaca surat darimu, kau akan pulang dengan membawa kehidupan yang layak. Katamu mungkin di suatu petang. Surat terakhir yang kau kirim, aku baca di samping tempat tidurmu. Istrimu yang berbaring di situ, nampak tersenyum cerah mendengar kata demi kata yang kubaca.
Entah di senja ke berapa kau akan datang. Tiap mentari mulai kembali ke peraduannya, istrimu selalu mengingatkanku untuk duduk di balkon.
Aku menunggu sosokmu berjalan pulang ke arah pintu rumah kita. Dengan memikul puntalan di pundak kanan, dan menenteng tas yang sama ketika kau pergi. Kau akan berteriak-teriak dari kejauhan memanggil namaku, “Galih.... Galih ..“ Aku mengkhusukkan pendengaran sambil memicingkan mata, melawan sorot sayu mentari senja. Dan aku akan segera berlari menuju kamarmu, membangunkan ibu dan membopong tubuh lumpuhnya keluar.
Bara api dari sebatang rokok yang terselip di sela jari, membuatku kaget dan tersadar. Nampak hanya lambaian ilalang yang seirama dengan helai rambutku, tak terlihat sosokmu. Riuh angin di angkasa menerbangkanku dalam permainannya, menenggelamkan sebuah penantian yang larut dalam khayal, sekejap pupus kemudian kembali utuh. Diikuti kerinduan yang terus saja menggelitik detik waktu. Belum lagi desah suara wanita tua lumpuh di sebelah kamarku, yang tak henti mengeja namamu dalam igaunya. Meski tidak begitu jelas ucapan itu, tapi aku yakin pasti dia menyebut namamu. Mungkin dia begitu menghayati sebuah kerinduan yang indah.
Aku kembali menyeruput kopi, menyulut kembali rokok. Mataku memaku ke pohon durian yang menjulang tinggi di belakang padang ilalang. Di bawah jingga yang mulai bercampur bercak merah, pada gumpalan awan yang menaungi hamparan alam.
Aku masih bisa melacak ingatan dengan baik tentang pohon itu. Dulu kau sering mengajakku ke sana jika musim durian tiba. Kita membuat gubuk kecil dari kayu beratap rumbia. Kadang kita menginap, bila pohon durian itu berbuah lebat dan mulai berjatuhan. Kau akan mencari kayu bakar untuk bekal mengusir nyamuk hutan yang lapar. Sedang aku, kau bekali ketapel untuk mengusir tupai-tupai yang sering mengganggu buah durian kita. Sampai malam menjelang dengan penerangan obor serta cahaya rembulan yang tertutup rimbun pepohonan, kau akan bercerita pengalamanmu. Bagaimana kau menggembala kerbau semasa kecilmu, berjualan botol-botol bekas, serta bagaimana kau berhasil meminang wanita yang sudah menyusuiku. Sesekali ceritamu terpotong, bila terdengar sebuah bunyi keras menghantam semak-semak. Satu persatu durian yang jatuh kita punguti, dan menyimpan di teras depan gubuk.
Kau menyalakan sebatang rokok dengan hisapan yang cukup panjang. Telunjukmu, kau acungkan bergeser ke sekeliling pepohonan. Kau akan kembali mengatakan tentang asal-usul pohon durian itu. Yang katamu kakekku lah yang menanamnya, kau hanya melanjutkan untuk merawat.
“Usia pohon itu lebih tua beberapa bulan dari usiaku,” katamu dengan disusul tawa yang menurutku bukanlah sebuah lelucon lucu.
Cerita itu aku dengar lebih dari enam kali, tapi aku akan tetap menunjukkan raut muka yang super serius. Memaksa bibirku untuk tersenyum rapi dan mengangguk pelan seolah menaruh kagum seperti pertama kali aku mendengarnya.
***
Sampai suara ayat-ayat Tuhan terdengar dari menara-menara mesjid. Serta kurang dari seperempat lingkaran mentari mengintip di peraduannya. Aku akan segera kembali ke kamar, dan mengarang sedikit cerita kepada ibu agar dia tidak putus asa dalam penantian. Padahal aku sendiripun sudah cukup putus asa. Kadang aku juga merasa bersalah telah mendustai ibuku sendiri.
Sungguh jikalau begini, akulah orang pertama yang menahan langkahmu. Atau paling tidak aku ikut merantau bersamamu, tetapi tidak mungkin. Siapa nanti yang menjaga ibuku? Wanita yang sangat kau sanjung meski dia sudah tidak secantik dulu lagi. Kita memang miskin, kau bekerja dengan mengandalkan tenaga yang tidak pasti penghasilannya. Mendulang, ya mendulang itulah mayoritas pekerjaan di kampung kita. Di perkampungan yang berada di Kalimantan inilah aku banyak memulai cerita.
Namun beberapa bulan belakangan pekerjaan itu terasa sangat membosankan menurutmu. Kadang tiga hari sekali kau baru membawa pulang uang, itupun tidak seberapa. Hanya cukup untuk makan dan melunasi hutang-hutang.
Sampai suatu ketika orang-orang di kampung kita ramai membicarakan lokasi tambang yang lagi menjadi primadona. Letaknya sangat jauh, di daerah Sulewesi Tenggara. Banyak orang banua khususnya dari kampung kita (Cempaka) membawa cerita kalau di sana sangat mudah menjaring rupiah. Kau tergoda mendengarnya, dan memutuskan untuk melabuh mimpi di tanah perantauan.
Bombana nama daerah itu, aku pernah mendengarnya dari temanku yang juga mau merantau ke sana.
Kini mereka sudah banyak yang pulang ke kampung halaman, tapi kau sendiri?
Aku tidak tahu kau di mana, aku sering bertanya perihal kabarmu kepada teman, kerabat yang juga datang dari sana setelah kau tidak lagi mengirim surat. Mereka mengatakan tidak pernah melihatmu lagi. Terakhir dua tahun yang lalu, pada bulan yang sama ketika surat terakhirmu aku baca.
Di tahun pertama dari hilangnya jejakmu, ibu sakit-sakitan sampai dia terserang stroke. Dan aku hanya bisa merawatnya di rumah, kau tahu aku kini sudah putus sekolah. Aku ikut mengaut pasir ke dalam truk yang biasa lewat dengan menghambur debu di jalan kampung kita.
Hingga di suatu senja dengan gerimis tipis, ibu memanggilku. Tidak seperti biasanya, dia tidak pernah atau begitu enggan mengganggu senjaku di balkon. Aku segera mengahampirinya, aku pikir dia mau buang air atau butuh sesuatu.
Karena stroke yang dideritanya, membuat beberapa bagian tubuhnya mengalami kelumpuhan. Tapi dia masih bisa menuliskan sesuatu dengan tangan kiri, cara untuk berkomunikasi denganku. “ Aku ingin mandi dulu, sebelum bertemu Abahmu.” Aku sedikit kaget membaca kalimat terakhir dari tulisannya.
Aku mengulang membaca, lalu menyodorkan tulisan tersebut di depan matanya. Dan mulutnya yang kaku seperti isyaratkan sebuah senyum. Akupun membalas dengan senyum tapi mataku seperti teriris, nanar. Aku menggendongnya ke belakang, memandikan seperti biasa yang aku lakukan.
Aku kembali duduk di balkon, meresapi aroma gerimis dengan secangkir teh manis. Aku menengok ke samping, nampak seorang wanita tua terlihat cantik dengan kebaya di pembaringannya. Seketika terlintas kalimat yang ditulis istrimu tadi, aku merasa nalurinya berbicara. Andai senja ini kau memang akan datang, kenapa aku tidak merasakannya. Apa mungkin naluri seorang anak tidak begitu peka.
Aku terombang-ambing dalam lamunan.
***
Jalan setapak dari belakang rumah kita membentang panjang, padang ilalang sedikit basah. Beberapa burung berlarian di udara dengan meninggalkan kicauan yang bergema, lalu lenyap. Langit mulai meredup, dua sosok lelaki berbadan tegap terlihat di ujung jalan. Aku mulai beranjak dari kursi, sambil memegang gelas teh yang kosong. Aku menaruh kembali gelas teh dan menyalakan rokok. Mengamati lebih dalam, “Siapa mereka?” Fikirku mulai penasaran.
Hembus asap tembakau dari mulutku berserakan, lamban seperti mengimbangi ayun langkah kaki mereka.
Aku mengucek mata, “ Itu Abah !” Teriakku lantang, aku juga tidak tahu suara itu terlontar begitu saja. Pasti Abah aku menyakinkan hati, dan yang satu mungkin temannya. “Bu.. Abah datang” Teriakku kembali, seraya berlari menyambutnya.
Gerimis yang sempat berjeda, kembali memberi irama, tetes demi tetes buliran air mendarat di keningku. Aku keluar ke perkarangan, menyambut sosok yang kuyakini Abah. Semakin mendekat kedua sosok itu, semakin ada degup yang mendesir alunan jantungku. Tak ada bekal di tangan, atau buntalan di pundaknya. Hanya sesekali mereka menunduk secara bersamaan mengamati ke kertas kecil yang di pegang salah satunya, kemudian menatap ke arah rumahku dengan menancapkan telunjuknya.
“Prang, pprrraaank....” Terdengar suara gelas terhempas dari kamar ibu, aku hanya menoleh sejenak.
Langkahku tertahan, aku tertegun dengan kedua sosok yang sudah berada tepat di depanku. Di bawah langit yang makin gelap, tatapanku menjadi lirih. Mengamati kedua sosok yang sama sekali aku tidak mengenalnya. Mereka segera mengulur tangan secara bergantian, aku menjabatnya. Aku diam, mengamati seragam yang mereka kenakan. Celana panjang abu-abu, jaket kulit sewarna dengan sepatu keduanya, hitam mengkilat. Dan tak luput selembar kertas dari genggam salah satunya.
“Apa ini benar rumah Pak Rois ?” Tanyanya mengagetkanku sambil menyodorkan kertas tadi yang ternyata sebuah KTP (Kartu Tanda Penduduk) kusam, tulisannya hampir tidak dapat terbaca.
Aku tercengang, tiba-tiba naluriku mulai bercampur aduk antara bahagia, gugup, dan lain berkecamuk jadi satu. Entah apa, dilain sisi aku tahu kedua orang ini adalah aparat kepolisian.
“Anggota kami menemukan sebuah jasad yang hanya tinggal tulang belulang saja. Kami sempat kesulitan mengenalinya, untung kami menemukan itu.“ Ucapnya membuyarkan lamunanku dengan suara yang berat sembari menunjuk KTP yang kupegang.
Akupun langsung tersentak keras mendengarnya, terpaku dengan yang mereka ucapkan. Aku segera berlari menuju ibuku yang terbaring cantik, tanpa mendengar jelas ucap pamit kedua polisi tadi. Aku memeluk ibu sejadi-jadinya tanpa peduli serpihan kaca yang berserak di lantai rumah kayu kami. Aku mengguncang keras tubuhnya, namun ibuku membeku kaku, dia sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa. Aku menatapnya sambil menyeka butiran airmata, menyentuh pipinya yang mengeriput. Sudut matanya terasa sembab, tetapi detak jantung dan hembus napasnya berhenti. Aku mengguncang kembali, namun aku tetap tidak menemukan aroma dan hembus napas itu. Aku berteriak keras memecah permukaan malam disertai desir angin yang buas.
Kemudian hening ...
***
Ketika sore aku duduk, ternyata ibu benar-benar telah menemukan sebuah nikmatnya rindu, dia menemui Abahku. Abah tidak memanggil dan datang dari ujung jalan yang selalu aku pandangi.
Dan di senja selanjutnya aku akan terus menunggu sampai Abah dan ibu menjemputku.
Gerimis tipis menyetubuhi dinginnya angin di batas senja, aku merindukan itu !!!
***

MK
Banjarbaru, 15 september 2012

0 komentar:

Posting Komentar

♥♥ Tinggalkan komentar anda...kritik dan saran sangat membantu yah ♥♥
♥♥ ^.^ ♥♥

 

Cerita Ku Copyright © 2011 Design by Infu5 (^o^) Blogger Template | Rumah's Desa koe