Oleh Ewel Galih 26 Februari 2013 pukul 21:20
Ucap pamit kedua sosok itu terdengar sesayup, namun aku hanya hirau.
Kini, di bolamataku hanya ada bayangan lemah ibu. Aku segera berlari
menghampirinya.
Kupanggil dia dengan perlahan, namun tiada sahutan.
Kuguncang tubuhnya masih tiada kata, kesabaranku meluap hingga tanpa
sadar aku mengguncang keras tubuh Ibu. Dan Ibu masih membeku kaku,
kusentuh pipinya yang mengeriput.
Entah mengapa sudut matanya tampak sembab. Kuraba
pergelangannya yang kurus, dan aku tersentak, tiada denyut nadi di sana.
Aku tergugu.
Tanpa sadar aku mengguncang tubuhnya kembali. Dan saat
kuinsafi, tiada aroma dan hembus napasnya kini. Maka... Aku berteriak
keras memecah permukaan malam.
Seketika itu pula desir angin merambat tekuk leherku serta tirai jendela yang berayun-ayun dengan tiba-tiba.
“Kaukah itu ?”
***
Langit kembali jingga, aku masih setia duduk di balkon
kamar yang menghadap ke selatan. Senja yang mungkin saja menghadirkan
dirimu, aku selalu di sini. Terakhir aku membaca surat darimu, kau akan
pulang dengan membawa kehidupan yang layak. Katamu mungkin di suatu
petang. Surat terakhir yang kau kirim, aku baca di samping tempat
tidurmu. Istrimu yang berbaring di situ, nampak tersenyum cerah
mendengar kata demi kata yang kubaca.
Entah di senja ke berapa kau akan datang. Tiap mentari mulai kembali
ke peraduannya, istrimu selalu mengingatkanku untuk duduk di balkon.
Aku menunggu sosokmu berjalan pulang ke arah pintu rumah kita.
Dengan memikul puntalan di pundak kanan, dan menenteng tas yang sama
ketika kau pergi. Kau akan berteriak-teriak dari kejauhan memanggil
namaku, “Galih.... Galih ..“ Aku mengkhusukkan pendengaran sambil
memicingkan mata, melawan sorot sayu mentari senja. Dan aku akan segera
berlari menuju kamarmu, membangunkan ibu dan membopong tubuh lumpuhnya
keluar.
Bara api dari sebatang rokok yang terselip di sela jari,
membuatku kaget dan tersadar. Nampak hanya lambaian ilalang yang
seirama dengan helai rambutku, tak terlihat sosokmu. Riuh angin di
angkasa menerbangkanku dalam permainannya, menenggelamkan sebuah
penantian yang larut dalam khayal, sekejap pupus kemudian kembali utuh.
Diikuti kerinduan yang terus saja menggelitik detik waktu. Belum lagi
desah suara wanita tua lumpuh di sebelah kamarku, yang tak henti mengeja
namamu dalam igaunya. Meski tidak begitu jelas ucapan itu, tapi aku
yakin pasti dia menyebut namamu. Mungkin dia begitu menghayati sebuah
kerinduan yang indah.
Aku kembali menyeruput kopi, menyulut kembali rokok.
Mataku memaku ke pohon durian yang menjulang tinggi di belakang padang
ilalang. Di bawah jingga yang mulai bercampur bercak merah, pada
gumpalan awan yang menaungi hamparan alam.
Aku masih bisa melacak ingatan dengan baik tentang pohon itu. Dulu
kau sering mengajakku ke sana jika musim durian tiba. Kita membuat gubuk
kecil dari kayu beratap rumbia. Kadang kita menginap, bila pohon durian
itu berbuah lebat dan mulai berjatuhan. Kau akan mencari kayu bakar
untuk bekal mengusir nyamuk hutan yang lapar. Sedang aku, kau bekali
ketapel untuk mengusir tupai-tupai yang sering mengganggu buah durian
kita. Sampai malam menjelang dengan penerangan obor serta cahaya
rembulan yang tertutup rimbun pepohonan, kau akan bercerita
pengalamanmu. Bagaimana kau menggembala kerbau semasa kecilmu, berjualan
botol-botol bekas, serta bagaimana kau berhasil meminang wanita yang
sudah menyusuiku. Sesekali ceritamu terpotong, bila terdengar sebuah
bunyi keras menghantam semak-semak. Satu persatu durian yang jatuh kita
punguti, dan menyimpan di teras depan gubuk.
Kau menyalakan sebatang rokok dengan hisapan yang cukup panjang.
Telunjukmu, kau acungkan bergeser ke sekeliling pepohonan. Kau akan
kembali mengatakan tentang asal-usul pohon durian itu. Yang katamu
kakekku lah yang menanamnya, kau hanya melanjutkan untuk merawat.
“Usia pohon itu lebih tua beberapa bulan dari usiaku,”
katamu dengan disusul tawa yang menurutku bukanlah sebuah lelucon lucu.
Cerita itu aku dengar lebih dari enam kali, tapi aku akan tetap
menunjukkan raut muka yang super serius. Memaksa bibirku untuk tersenyum
rapi dan mengangguk pelan seolah menaruh kagum seperti pertama kali aku
mendengarnya.
***
Sampai suara ayat-ayat Tuhan terdengar dari menara-menara
mesjid. Serta kurang dari seperempat lingkaran mentari mengintip di
peraduannya. Aku akan segera kembali ke kamar, dan mengarang sedikit
cerita kepada ibu agar dia tidak putus asa dalam penantian. Padahal aku
sendiripun sudah cukup putus asa. Kadang aku juga merasa bersalah telah
mendustai ibuku sendiri.
Sungguh jikalau begini, akulah orang pertama yang menahan langkahmu.
Atau paling tidak aku ikut merantau bersamamu, tetapi tidak mungkin.
Siapa nanti yang menjaga ibuku? Wanita yang sangat kau sanjung meski dia
sudah tidak secantik dulu lagi. Kita memang miskin, kau bekerja dengan
mengandalkan tenaga yang tidak pasti penghasilannya. Mendulang, ya
mendulang itulah mayoritas pekerjaan di kampung kita. Di perkampungan
yang berada di Kalimantan inilah aku banyak memulai cerita.
Namun beberapa bulan belakangan pekerjaan itu terasa sangat
membosankan menurutmu. Kadang tiga hari sekali kau baru membawa pulang
uang, itupun tidak seberapa. Hanya cukup untuk makan dan melunasi
hutang-hutang.
Sampai suatu ketika orang-orang di kampung kita ramai
membicarakan lokasi tambang yang lagi menjadi primadona. Letaknya sangat
jauh, di daerah Sulewesi Tenggara. Banyak orang banua khususnya dari
kampung kita (Cempaka) membawa cerita kalau di sana sangat mudah
menjaring rupiah. Kau tergoda mendengarnya, dan memutuskan untuk melabuh
mimpi di tanah perantauan.
Bombana nama daerah itu, aku pernah mendengarnya dari temanku yang juga mau merantau ke sana.
Kini mereka sudah banyak yang pulang ke kampung halaman, tapi kau sendiri?
Aku tidak tahu kau di mana, aku sering bertanya perihal kabarmu
kepada teman, kerabat yang juga datang dari sana setelah kau tidak lagi
mengirim surat. Mereka mengatakan tidak pernah melihatmu lagi. Terakhir
dua tahun yang lalu, pada bulan yang sama ketika surat terakhirmu aku
baca.
Di tahun pertama dari hilangnya jejakmu, ibu sakit-sakitan sampai
dia terserang stroke. Dan aku hanya bisa merawatnya di rumah, kau tahu
aku kini sudah putus sekolah. Aku ikut mengaut pasir ke dalam truk yang
biasa lewat dengan menghambur debu di jalan kampung kita.
Hingga di suatu senja dengan gerimis tipis, ibu
memanggilku. Tidak seperti biasanya, dia tidak pernah atau begitu enggan
mengganggu senjaku di balkon. Aku segera mengahampirinya, aku pikir dia
mau buang air atau butuh sesuatu.
Karena stroke yang dideritanya, membuat beberapa bagian tubuhnya
mengalami kelumpuhan. Tapi dia masih bisa menuliskan sesuatu dengan
tangan kiri, cara untuk berkomunikasi denganku. “ Aku ingin
mandi dulu, sebelum bertemu Abahmu.” Aku sedikit kaget membaca kalimat
terakhir dari tulisannya.
Aku mengulang membaca, lalu menyodorkan tulisan tersebut di depan
matanya. Dan mulutnya yang kaku seperti isyaratkan sebuah senyum. Akupun
membalas dengan senyum tapi mataku seperti teriris, nanar. Aku
menggendongnya ke belakang, memandikan seperti biasa yang aku lakukan.
Aku kembali duduk di balkon, meresapi aroma gerimis dengan
secangkir teh manis. Aku menengok ke samping, nampak seorang wanita tua
terlihat cantik dengan kebaya di pembaringannya. Seketika terlintas
kalimat yang ditulis istrimu tadi, aku merasa nalurinya berbicara. Andai
senja ini kau memang akan datang, kenapa aku tidak merasakannya. Apa
mungkin naluri seorang anak tidak begitu peka.
Aku terombang-ambing dalam lamunan.
***
Jalan setapak dari belakang rumah kita membentang panjang,
padang ilalang sedikit basah. Beberapa burung berlarian di udara dengan
meninggalkan kicauan yang bergema, lalu lenyap. Langit mulai meredup,
dua sosok lelaki berbadan tegap terlihat di ujung jalan. Aku mulai
beranjak dari kursi, sambil memegang gelas teh yang kosong. Aku menaruh
kembali gelas teh dan menyalakan rokok. Mengamati lebih dalam, “Siapa
mereka?” Fikirku mulai penasaran.
Hembus asap tembakau dari mulutku berserakan, lamban seperti mengimbangi ayun langkah kaki mereka.
Aku mengucek mata, “ Itu Abah !” Teriakku lantang, aku juga tidak
tahu suara itu terlontar begitu saja. Pasti Abah aku menyakinkan hati,
dan yang satu mungkin temannya. “Bu.. Abah datang” Teriakku kembali,
seraya berlari menyambutnya.
Gerimis yang sempat berjeda, kembali memberi irama, tetes demi tetes
buliran air mendarat di keningku. Aku keluar ke perkarangan, menyambut
sosok yang kuyakini Abah. Semakin mendekat kedua sosok itu, semakin ada
degup yang mendesir alunan jantungku. Tak ada bekal di tangan, atau
buntalan di pundaknya. Hanya sesekali mereka menunduk secara bersamaan
mengamati ke kertas kecil yang di pegang salah satunya, kemudian menatap
ke arah rumahku dengan menancapkan telunjuknya.
“Prang, pprrraaank....” Terdengar suara gelas terhempas dari kamar ibu, aku hanya menoleh sejenak.
Langkahku tertahan, aku tertegun dengan kedua sosok yang sudah
berada tepat di depanku. Di bawah langit yang makin gelap, tatapanku
menjadi lirih. Mengamati kedua sosok yang sama sekali aku tidak
mengenalnya. Mereka segera mengulur tangan secara bergantian, aku
menjabatnya. Aku diam, mengamati seragam yang mereka kenakan. Celana
panjang abu-abu, jaket kulit sewarna dengan sepatu keduanya, hitam
mengkilat. Dan tak luput selembar kertas dari genggam salah satunya.
“Apa ini benar rumah Pak Rois ?” Tanyanya mengagetkanku
sambil menyodorkan kertas tadi yang ternyata sebuah KTP (Kartu Tanda
Penduduk) kusam, tulisannya hampir tidak dapat terbaca.
Aku tercengang, tiba-tiba naluriku mulai bercampur aduk antara
bahagia, gugup, dan lain berkecamuk jadi satu. Entah apa, dilain sisi
aku tahu kedua orang ini adalah aparat kepolisian.
“Anggota kami menemukan sebuah jasad yang hanya tinggal
tulang belulang saja. Kami sempat kesulitan mengenalinya, untung kami
menemukan itu.“ Ucapnya membuyarkan lamunanku dengan suara yang berat
sembari menunjuk KTP yang kupegang.
Akupun langsung tersentak keras mendengarnya, terpaku dengan yang
mereka ucapkan. Aku segera berlari menuju ibuku yang terbaring cantik,
tanpa mendengar jelas ucap pamit kedua polisi tadi. Aku memeluk ibu
sejadi-jadinya tanpa peduli serpihan kaca yang berserak di lantai rumah
kayu kami. Aku mengguncang keras tubuhnya, namun ibuku membeku kaku, dia
sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa. Aku menatapnya sambil
menyeka butiran airmata, menyentuh pipinya yang mengeriput. Sudut
matanya terasa sembab, tetapi detak jantung dan hembus napasnya
berhenti. Aku mengguncang kembali, namun aku tetap tidak menemukan aroma
dan hembus napas itu. Aku berteriak keras memecah permukaan malam
disertai desir angin yang buas.
Kemudian hening ...
***
Ketika sore aku duduk, ternyata ibu benar-benar telah
menemukan sebuah nikmatnya rindu, dia menemui Abahku. Abah tidak
memanggil dan datang dari ujung jalan yang selalu aku pandangi.
Dan di senja selanjutnya aku akan terus menunggu sampai Abah dan ibu menjemputku.
Gerimis tipis menyetubuhi dinginnya angin di batas senja, aku merindukan itu !!!
***
MK
Banjarbaru, 15 september 2012
Labels
- Buku (5)
- Cerpen (2)
- Curcol (4)
- Gie (1)
- khairil anwar (12)
- Me (4)
- puisi (9)
- Puisi My Friend (32)
- Puisi Q (10)
Popular Posts
-
Judul : Peyempuan Penulis : @peyemp Ukuran : 13 x 19 cm Tebal : xiv + 202 hlm Yups bener banget, ini lho buku yang ...
-
Penulis : @teladanrasul Penerbit : QuantumMedia Pengen cepet ketemu jodoh? 6 Hal penting dalam buku ini yang perlu kamu tahu. 7 ...
-
Pacar yang paling disayang adalah Mantan yang paling di benci Hahahaahaha,, bener gak flend,, WHY???? because susah buanget buat ngelupa...
-
"Semua bunga itu indah, sebagaimana adanya dirinya. tak perlu membandingkan mawar dan melati dengan putri malu dan bunga bangkai ...
-
Sebelom nya gw mau nanya. Pernah gak sih punya pacar yang begitu di sayang dan tiba-tiba aja si pacar jadi "Si Bangsat yang indah&qu...
Rabu, 12 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k:
Posting Komentar
♥♥ Tinggalkan komentar anda...kritik dan saran sangat membantu yah ♥♥
♥♥ ^.^ ♥♥