Rabu, 12 Februari 2014

“KENANGAN YANG MEMBUNUH ”

Diposting oleh eva yuanita di 19.18
Oleh Ewel Galih 5 September 2012 pukul 20:32


                                             ( Teruntuk sepi yang mengancam)
                                              


        Lelaki itu selalu mengintai malam dari tirai jendela kamar, matanya memaku tajam ke angkasa. Seperti jiwa yang terpenjara di negri malam tak berteman, meski sunyi sekalipun.

“Lenyap” ucapnya lirih dengan bibir gemetar. Seraya menatap kosong langit, tak tampak hamparan bintang bergelantung menemani bulan yang menyabit redup. Seolah tenggelam, tertelan awan mendung yang samar dalam gelap. Sementara angin berloncatan menerpa ujung rambut lelaki itu, menggoyangkan tiap helai panjang daun pisang samping rumahnya. Angin itu adalah angin yang sama dengan yang mempermainkan tangisannya beberapa belas tahun silam. Hatinya makin berkecamuk ketika melihat ribuan tetes air berebut turun dari balik awan. Menguak kenangan lelaki itu,  lelaki yang termangu di tepi jendela.

Seolah ada sebuah kedukaan mengambang di ingatan. Tapi entahlah, orang-orang kampung hanya sering mendapati siluet sesosok lelaki seperti menguras airmata dari balik tirai jendela rumah yang terletak di pojok sunyi itu. Sesekali dia mengerang kencang, entah teriak kesakitan, atau apalah yang jelas gema suara itu mampu merambat gemercik hujan. Namun sampai detik ini tak ada yang tahu persis luka apa yang menderanya.
*
            Terus, lelaki itu berjalan kecil menyisiri malam, menapaki tiap ruang rumahnya yang sunyi. Seketika langkah terhenti di teras depan, pada gumpalan bias hujan menyelimuti kaca-kaca hitam. Lelaki itu lalu mendekat, dan lebih dekat lagi. Dengan kaos oblong murahan menempel di tubuh, salah satu bidang kaca tersebut di bersihkan. Kaca itu sudah lama retak, retak dalam amuk kekecewaan.
            “Lelaki jahanam, biadab ! Sekarang pergi lah yang jauh. Meski tanpamu aku mampu menghidupi Roy, aku tidak butuh kepala keluarga bajingan sepertimu” Teriak seorang ibu di ikuti gelas dengan motif  bunga yang terlempar ke arah suaminya. Namun bidikan tersebut meleset hanya mengenai kaca depan rumah mereka.
Roy yang terbangun dari tidur diam-diam menyaksikan perseteruan ibu dan bapaknya dari balik lubang kunci. Meski itu sudah terjadi sekitar tiga belas tahun silam, namun suasana malam terus menyeret dan kata-kata itu  masih menempel erat di ingatan. Sampai mimik wajah ibunya dia ingat persis, seperti orang kesetanan. Dan bapak hanya diam, tanpa ada sepatah kata, kecuali pergerakan tangannya  yang terlihat mencoba mempertahankan diri. Namun semua sia-sia, semakin ibu menatap wajah bapak emosinya semakin memuncak.

       Semua bermula ketika perut bu Lilis tetangga Roy mulai buncit yang menebar kejanggalan hebat. Sebab orang sekampung tahu suami ibu Lilis sedang merantau di tempat yang jauh dan hampir dua tahun belakangan ini tak pernah pulang. Janggalnya kenapa bu Lilis bisa hamil, belaian siapa yang meninggalkan benih di rahimnya. Berita kehamilan ini menjadi buah bibir paling populer di kampung kami, di warung-warung kopi, di sela pekerjaan, di pelatar-pelataran kicauan ibu-ibu berterbangan mengumbar cerita dengan bermacam persi.
Beberapa pekan gosip tersebut menjadi topik utama, di semua kalangan. Sampai terkuak lelaki yang berhasil membuahi rahim bu Lilis, tetangga Roy yang malang. Mengkhianati suaminya hanya untuk memuaskan nafsu selangkangan. Tapi ibu Roy jauh lebih malang, dari raut wajahnya terlihat begitu banyak menyimpan beban. Sakit hati, terlecehkan, termalukan, kecewa, penuh dengan perasaan-perasaan tidak nyaman. Ketika bu Lilis angkat bicara kalau lelaki yang menghamilinya adalah lelaki yang menikah dengan tetangganya sendiri, lelaki yang biasa Roy panggil “Bapak”.
          Berita itupun menjadi sumber malu keluarga, terutama ibu Roy dia sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Bersama nyeri di dada yang seakan tak ada habisnya, akhirnya sang ibu memilih membesarkan Roy seorang diri
**
            Guntur-guntur bersahutan, membangunkan lelaki yang larut dalam lamunan hingga menenggelamkan guratan senyum pada permukaan malam. Lelaki itu menggerutu tak jelas,
           Kilat menyambar, membelah gumpalan pekat awan-awan hitam
          Silau kilaunya membunuh senyum dalam mata.
          Kesedihan yang tak dapat dieja sepanjang hujan reda,
         meski dengan bahasa selembut sutra
         kini mereka pergi tanpa kenangan sedikitpun.

Kurang lebih seperti demikian kata-kata yang sempat tertangkap angin.
Hanya memandang liar ke semua sudut sepi yang mengepung malam, malam tak ubahnya pita masalalu yang berputar lamban. Menyudutkan diri yang selalu merasa lemah setiap kali mencoba mengecup kilauan bintang. Mencoba mencintai malam agar tak selalu menjadi kengerian. Namun kepekatan begitu kuat menyelimuti rindu-rindu, melelapkan pada nyanyian masalalu. Sontak jemari-jemarinya secara spontan menjatuhkan belaian pada keretakan kaca berpoles debu-debu berkarat dan lelaki itu berubah menjadi beringas.

Jemarinya menggumpal lalu menghantam keras. Hanya dengan satu pukulan keras kaca tersebut sudah tak lagi retak, tetapi berubah menjadi beling-beling tajam yang berserakan di lantai keramik tua rumahnya. Berteriak-teriak tak jelas sambil menjambak rambutnya sendiri. Detak jantungnya pun seperti beradu cepat dengan hujan yang berjatuhan. Secara perlahan dia kembali tenang, namun ada benda yang menyita perhatiannya. Keningnya mengerut, salah satu pecahan kaca diambil lalu dibersihkan dengan rintik air dari langit. Hingga mengkilap dengan bentuknya tidak beraturan, namun runcingnya sudah dapat dipastikan mampu mengiris kulit bahkan menikam suara nafas kalian. Kalian yang cukup lantang menertawakan kesialan ini !!

Kalian yang menganggap jalan takdir ini adalah sebuah goresan tak ubahnya kutukan yang bersemayam dalam dada. Apalagi bila diingat manakala lelaki itu mulai mengecap sebuah cinta, layaknya rasa yang tumbuh pada remaja kebanyakan. Maria gadis kampung berparas seadanya, yang sukses memupuk semangat dalam harinya. Namun bahagia memang selalu silih berganti, tikaman kecewa mulai menyerang luka lama yang bersarang. Di saat perempuan itu, menyingkap apa yang selama ini tersembunyi. Sebab ibunya sama sekali tidak menaruh restu terhadap hubungan mereka.
“ Buah tidak akan jatuh dari pohonnya,” kata Maria menyampaikan sebuah kalimat yang menjadi alasan utama ibunya menantang hubungan mereka. Di sore yang nanar itu Roy pun hanya terdiam, bibirnya gemetar seperti ada yang tertahan di ujung lidah. Maria dengan sisa ketegaran mengucapkan kata perpisahan, beranjak meninggalkan kekasihnya dalam kesakitan.
            “Seandainya aku bisa memilih, akupun tidak akan memilih terlahir dari keluarga yang tidah utuh. Aku terima keputusanmu, tapi sampaikan pada ibumu aku hanyalah korban. Seharusnya bukan hanya ibumu, kamu, dia, dan mereka tahu ini hidupku. Aku yang paling mengerti dan paham dengan jalan ini.” Teriaknya, menahan langkah Maria yang sudah memalingkan tubuhnya sedari tadi.
             “Kalian tidaklah berfikir, aku tahu bagaimana tidak enaknya jauh dari orangtua. Ini adalah sebuah pengalaman yang Tuhan ajarkan. Dan yang penting rasanya terlalu bodoh bila aku membiarkan kesakitan, cerita pahit ini terus berlanjut, persetan pribahasa itu ” Sambungnya lagi dengan suara memarau, Maria hanya memalingkan sedikit muka ke belakang sambil menyeka airmata, dan lenyap begitu saja di kemuraman senja.

Kisah cinta yang mengalir tersekat-sekat di ingatan, makin memicu kilau serpihan kaca tersebut untuk menyayat pergelangan. Memejamkan mata, menghayati gesekan kaca yang dalam hitungan detik sudah memutus arus pada darah. Pada luka yang menganga dia melangkah, hanya beberapa langkah mendekati foto dengan warna mulai memudar. Mematung, membuat waktu kembali mengulang ingatan. Meski ingatan adalah luka yang sangat menyakitkan, tetapi dia tak mampu menghindar. Sungguh, bila jubah kegelapan telah menyelimuti bumi dengan ribuan tetes hujan, kadang dia menjadi tegang. Seperti mencoba menahan desakan air yang ditahan mati-matian dari balik kelopak mata, agar tidak jatuh membulir membasah pipi.
               “Aku lemah, pengecut, aku kalah, dan aku menyerah pada kesedihanku.” Suaranya datar kemudian dikejutkan dengan tangis histeris sembari menghempas foto dari balik pigura di depannya. Separu berjongkok foto tadi diambil lagi, dipegang erat dengan noda darah yang terus mengalir.
***
Entah beberapa puluh ribu malam tercurah dalam tangisan, namun ini adalah kali pertama airmata itu di ikuti kucuran darah segar dari goresan kaca di pergelangan. Dulu pada malam-malam sebelumnya, bilamana kedukaan itu menyerang. Lelaki itu dengan sigap membunuhnya dengan sebotol Jager, hingga membuatnya terlelap sedalam-dalamnya, dalam mimpi yang sudah tak cantik lagi. Tapi kali ini sebotol Jager tidaklah mampu menepis ribuan runcing serangan kedukaan, malah makin membuat kegelisahan membumbung tinggi. Dengan rasa kecewa penuh, hingga  tidak ada tempat lagi untuk menampung amarah, yang meletup-letup atas perkembangan pertumbuhan tanpa kehadiran keluarga yang utuh. Luka dari sayatan emosional inilah yang menenggelamkan lelaki tersebut ke dalam konflik sinting. Stress menahun, mengembangkan masalah-masalah prilaku. Hingga dia pun sukses menjadi lelaki aneh, kata yang sering dilontarkan orang-orang di kampung.
Sayup-sayup suara pentungan terdengar berbunyi dua kali, dari tiang listrik yang dipukul para penjaga malam. Tapi lelaki itu masih setia memandang hampa ke tepi jendela menatapi daun-daun pisang yang bergoyang hingga terhenti dengan posisi tengadah ke langit. Meresapi aroma yang ditinggalkan hujan, dengan gemercik masih terdengar samar-samar.
Nafasnya memburu, terlihat pada kedalaman matanya. Seolah sedang memutar ulang usaha untuk menyalahkan dirinya sendiri. Sebuah memori masa kecilnya yang pincang, berjalan tergopoh-gopoh di bawah terik kehidupan. Binar mata itupun seakan melukis harapan.

       Ingatan lelaki itu, ingatan itu datang lagi. Dia menari, meloncat-loncat bila hembusnya menyapa, barangkali jiwa itu di bawa terbang melayang dalam bahagia. Namun untuk kesekian kali dia harus merasakan jatuh, bangun, kemudian jatuh lagi begitu seterusnya. Sampai jiwanya sudah tak berbentuk, lalu diapun melanjutkan berjalan ke pelosok-pelosok sunyi mencari celah untuk melupa. Sepertinya selalu salah jalan, bukan kah sunyi makin menghanyutkan. Dia kembali memutar balik arah mencari kegaduhan, menginjak tempat-tempat keramaian. Dari pasar malam, warung-warung remang, diskotik, cafe-cafe dangdut, sampai dia memberanikan diri mengenal perempuan malam. Namun tempat seperti itu hanya melahirkan perasaan risih, membuat dirinya makin membenci kehidupan.

Imajinasi itu hanya berputar-putar membuat pusing dengan keadaan yang terus menghantui. Mungkin kamu, aku, kalian, mereka-mereka dan dia sendiri pun sempat heran kenapa keadaan begitu demikian rumit. Tapi inilah adanya antara aku dan lelaki itu telah melebur menjadi satu.
Dengan lekat-lekat foto yang sedari tadi digenggam erat, dipandangnya. begitu sayu tatapan itu dalam pengharapan, tanpa perduli cucuran darah terus berloncatan.
            “Tengoklah aku, lihat keadaanku buah dari pertikaian kalian. Aku yang begini buruk, tumbuh liar tanpa siraman kasih sayang” Seraya menghela nafas, mencoba memberi ketenangan pada letup luka yang menggebu.
             “Aku rindu dekapan ibu, aku rindu nasehat bapak yang selalu terselip dalam dongeng penghantar tidurku.” Sambungnya lagi, dengan menekuk muka. Suaranya terdengar menjadi sangatlah sendu, matanya yang sembab mulai meredup.

Hujan kini sudah reda total, semilir angin masuk melalui pentilasi udara di penghujung malam menyelipkan bayangan detik-detik kepergian sang ibu. Ketika seorang duda datang melamar ibunya, dengan memantapkan hati ibu Roy pun pergi bersama duda muda yang menikahinya. Mendamparkan dia seorang diri yang sebenarnya masih sangat haus-hausnya akan kasih sayang seorang ibu. Di rumah di pojok sunyi ini, Roy mengais mimpi.

Berpuluh, beribu, beratus-ratus tumpahan botol Jager bersama tumpukan waktu yang mengalir, rasanya tak cukup mampu menghibur sepi. Sepi yang terlampau kenyang terasakan dalam hidup yang laknat ini. Waktu sama sekali tak mampu tertahan, percikan darah terlihat di mana-mana. Sepi sekejap terlupa dengan rasa lelah merajai sekujur tubuh, bersama rasa dingin yang sangat dalam . Tubuh itu terbaring lunglai di lantai penuh decak kental cairan darah, tak satu kata sanggup terkeluarkan. Padahal dia sangat ingin ucapkan selamat tinggal, sebagai tanda perpisahan. Sebab kereta kematian sudah menunggu di teras langit. Dia menghitung-hitung kepada siapa ucapan itu pantas diberikan, rasanya dia sudah tidak punya siapa-siapa untuk berbagi ucapan selamat tinggal. Satu-satunya yang pantas mendapatkan ucapan perpisahan adalah kesepiannya sendiri, meski dirinya akan tetap membuahkan kesepian yang sama.

       Dengan ceracau tak jelas dalam benak, dia memutuskan menikmati sisa waktu ini dengan membakar sebatang tembakau. Rasanya cukup menghibur hal bodoh yang sudah dilakukan. Semua sudah terlanjur, dan dia menyempatkan pula berandai-andai bila esok pagi sudah tiba, semua yang mengenalnya bisa berkaca. Tak seharusnya kesedihan diakhiri dengan kematian, tak seharusnya pula menyalahkan keadaan yang tak tahu apa-apa. Bukankah pemicu rasa sedih dari dalam diri kita sendiri, semestinya dia juga mampu melepas jerat dan belenggu dari penjara masalalu. “Ternyata aku terlalu menikmati luka yang di tinggalkan ibu dan bapakku. Setelah bertahun-tahun kenapa baru sekarang aku menyadarinya.” Sebuah fikiran jernih melintas begitu saja dalam keruh benaknya.
       “Tapi percuma, sekarang aku sudah putus asa !!” benaknya kembali berkecamuk
Embun-embun mulai berjatuhan mempersiapkan kedatangan pagi, seketika kembali rasa dingin tadi menyerang. Semakin sejuk terasa pada bagian pusar, kemudian mulai turun ke pinggang dan kembali naik ke bagian jakun. Bersamaan itu detak jantung lelaki itu terhenti, dan hembus nafasnya berakhir.
Lelaki itu tergeletak di bawah jendela, kini matanya sudah tertutup rapat pada malam berbalut campuran darah, derita, putus asa, airmata dan kematian.
        "Ketahuilah, lelaki itu adalah Roy, tubuhku yang kini terbaring kaku”

                                             ****







                                                                                                      Banjarbaru/ juli/2012

1 komentar:

Unknown mengatakan...

pa cerpen ini dhapus aja dlu, soalnya isinya aku ubah total. kena klo dah selesai copi aja lagi

Posting Komentar

♥♥ Tinggalkan komentar anda...kritik dan saran sangat membantu yah ♥♥
♥♥ ^.^ ♥♥

 

Cerita Ku Copyright © 2011 Design by Infu5 (^o^) Blogger Template | Rumah's Desa koe